Sunday, May 19, 2013

Fire Mage's Diary

Original release date :
- Part 1 > 30/10/2012
- Part 2 > 30/10/2012
- Part 3 > 31/10/2012

Originally released at : Fanfic Lover Group (FB Secret Group)

Fire Mage's Diary

Part 1


Sore hari di musim dingin.

Langit abu-abu yang dihiasi butiran-butian putih salju yang turun perlahan.

Suasana yang sepi, hanya terdengar suara angin.

Aku menyendiri di tengah-tengah sebuah pemakaman terbuka, duduk sambil menekuk lutut. Udara terasa begitu dingin sampai membuat jari-jariku beku. Padahal tubuhku sudah terbalut baju dan jaket tebal, tapi aku masih merasa seperti orang yang telanjang di depan kulkas yang terbuka. Kepalaku pusing dan nafasku terasa begitu berat. Tapi aku tak mau beranjak dari tempat itu. Aku sedang merenung, dengan pandangan terkunci pada pemandangan di hadapanku.

Ada 3 batu nisan di hadapanku.

Tulisan pada nisan-nisan itu memiliki awalan yang sama.
“Here lies the great hero of Magic Kingdom. Protector of the Hexa Seal.”

Pada bagian tengah memiliki nama yang berbeda.
“Glaciero the Freezing Mind”
“Seraphina the Burning Soul”
“Hera the Shocking Spirit”

Dan masing-masing diakhiri dengan sebait sajak pada bagian bawahnya, dengan isi yang berbeda-beda dan ditulis dengan bahasa mantra.

Aku terus memperhatikan nisan-nisan itu secara berganti-ganti sambil membaca setiap sajak yang tertulis di sana, berulang-ulang. Semakin aku mencoba mendalami makna sajak-sajak itu, semakin berat rasanya nafasku, seakan-akan sajak-sajak itu ingin mengajakku ikut bergabung bersama para penghuni yang tertidur di bawah kaki-kaki mereka.

Akhirnya aku menghentikan kegiatanku karena merasa lelah dan bosan.

“Seandainya kalian masih hidup….”
Aku menatap nisan-nisan itu dengan tatapan iba. Lalu aku fokuskan pandanganku pada 2 nisan di sebelah kiri, dengan nama Glaciero dan Seraphina tertulis di dalamnya.

“Ayah…. Ibu….”

Seketika itu juga pikiranku melayang. Terbayang sosok ayah dan ibu di benakku. Muncul gambaran-gambaran saat-saat aku bersama mereka, bermain, bercanda, tertawa riang bersama, sesekali mereka terlihat marah dan kesal, lalu kulihat mereka tersenyum padaku sambil menyebut namaku.

Tapi kemudian muncul gambaran-gambaran tragis.
Kulihat ibuku tertusuk tombak dari belakang.
Dan ayahku yang tubuhnya terbakar belasan bola api hitam.
Saat-saat mereka tewas di hadapanku.

Aku memejamkan mata lalu menghela napas.
“Kalian pergi begitu cepat….”

Lalu aku mulai mengingat saat-saat awal setelah kepergian orang tuaku.


Part 2

10 tahun yang lalu, di pagi yang mendung dan penuh duka.

Di tempat ini baru saja diadakan upacara pemakaman para penduduk kerajaan yang menjadi korban di faction war. Di antara para korban itu termasuk ayah dan ibuku, para penjaga segel sihir kerajaan.

Aku dan kedua saudara kembarku berdiri terpaku di hadapan batu nisan kedua orang tua kami. Suasana sepi, hanya ada kami dan sekelompok penyihir dari istana yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu. Yang lainnya sudah pulang begitu upacara pemakaman selesai. Tampak Indra masih terus menangis sambil memelukku dan Boreaus yang juga masih menangis dan terus-terusan menyeka air matanya, sedangkan aku hanya memandangi batu nisan dengan tatapan kosong.

Samar-samar aku mendengar pembicaraan kelompok penyihir tak jauh di belakangku.

“Jadi kami titipkan anak-anak Glaciero padamu.”
“Apa dia tidak terlalu muda untuk dititipi 3 orang anak?”
“Mau bagaimana lagi. Kita tidak bisa menitipkan mereka pada sembarangan orang.”
“Kenapa tak biarkan mereka tinggal di istana?”
“Jangan, mereka masih terlalu muda. Jangan hiasi masa kecil mereka dengan hal-hal berat di istana.”
“Dalam juga kata-katamu itu!”
“Kau berbakat jadi public figure…!”
“Huss, jangan ngawur dulu, ah! Seriuslah, orang-orang tua. Malu sama yang muda di sini.”
“Kau sendiri juga tua, kan?”

Aku sedikit tersentak. Entah kenapa aku merasa kalau kelompok itu sedang membicarakan kami….

“Ah, sudahlah, yang konsisten dulu.”
“Yang mereka butuhkan adalah pengasuh atau orang yang bisa menggantikan keberadaan orang tua mereka. Kami di sini terlalu sibuk untuk mengurus mereka.”
“Dan terlalu tua.”
“Ya, dan terlalu tua….”
“Ah….”
“Dan cuma kau yang cocok untuk pekerjaan ini.”
“Tapi….aku sama sekali belum punya pengalaman dalam merawat mereka. Aku dan istriku belum sempat punya anak….”
“Nah, dengan ini kau, kan, bisa belajar untuk merawat anak.”
“Kalau kau bisa merawat mereka dengan baik, istrimu pasti bangga melihatmu dari alam sana.”
“Kalian ini….penjilat….”
“Hoi, barusan kau bilang apa, bocah?”
“Aku cuma bergurau….”

Aku menoleh ke arah kelompok itu dan memasang tampang curiga.
Pengasuh? Pengganti orang tua? Apa maksudnya?

“Jadi bagaimana, Zefferino? Kau setuju atau menolak?”
“Sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Aku juga tak mau menelantarkan anak-anak sahabatku di tangan yang salah. Selain itu aku juga berhutang budi pada mereka berdua….”

Apa aku dan saudara-saudaraku akan….

“Jadi kau setuju?”
“Ya, aku setuju.”
“Oho, baguslah! Akhirnya masalah ini selesai juga!”

‘Apa aku gak salah dengar?’  batinku dengan penuh rasa heran.


Part 3

“Karena masalah ini sudah selesai sekarang kami bisa kembali ke istana.”
“Terima kasih atas kerjasamamu , Zefferino.”
“Aku akan berusaha sebaik-baiknya.”
“Kalau begitu kami permisi.”
“Jangan kecewakan kami, ya, Sorcerer muda.”
“Baik-baiklah pada mereka.”

Kulihat kelompok itu bergerak meninggalkan pemakaman. Hanya ada satu orang yang tertinggal, seorang Sorcerer muda dengan rambut wild ponytail lemon dan heterochromia, sosok yang familiar bagiku.

Sorcerer itu menoleh padaku dan tersenyum padaku yang masih memasang tampang heran.
“Kau udah dengar semuanya, kan, Apollo?”
Sepertinya dia sadar kalau aku sejak tadi memperhatikannya beserta kelompok itu.
“Apa kami sekarang bakal tinggal bersama paman?” tanyaku langsung. Tampak Boreaus dan Indra tertegun mendengar pertanyaanku dan langsung menoleh sambil memasang wajah bingung.
“Ya, ini tugas dari kerajaan. Aku juga gak bisa nolak,” jawab Paman Zefferino pelan sambil menggaruk belakang kepalanya lalu tersenyum ringan.
“Jadi kami harus ninggalin rumah dan pindah ke asrama paman?”
“Nggak…. Justru sebaliknya aku yang bakal tinggal di rumah kalian.”
“Ka….Kalian bicarain apa…?” tanya Boreaus tiba-tiba dengan nada heran.
“Emm, gini…. Berhubung orang tua kalian udah pergi, mulai sekarang aku bakal tinggal bersama kalian, jadi pengasuh, gitu.” jelas Paman Zefferino sambil tetap memasang wajah tersenyum.
“Kenapa harus gitu?”
“Soalnya ini perintah dari kerajaan.”
“Kenapa kerajaan nyuruh-nyuruh kayak gitu? Mereka pikir kami gak sanggup tinggal sendiri gitu?” tampak Boreaus terlihat sedikit terganggu dengan pernyataan paman.
“Yah….” Paman Zefferino cuma garuk-garuk kepala.

#gluduk gluduk
Terdengar suara gemuruh dari langit diikuti kilatan cahaya seperti blitz kamera. Kami semua menoleh ke arah langit.

“Uhh, sebaiknya kita pulang dulu sekarang. Bentar lagi bakal hujan,” kata paman. Dia lalu berjalan pelan menuju pintu keluar pemakaman.
“Ayo,” aku mulai berjalan sambil menarik tangan Indra tapi dia tak mau bergerak.
“Aku lelah. Kakiku sakit berdiri lama-lama,” rengek Indra.
“Mau kugendong?”
“Emangnya Apollo gak capek?”
“Nggak….” aku berjongkok di depan Indra, “Ayo naik.”
Indra naik ke atas punggungku lalu aku menggendongnya dan berjalan mengikuti Paman Zefferino.

Tapi Boreaus tidak ikut berjalan. Dia masih diam di tempatnya, memandangi batu nisan ayah dan ibu sambil memasang wajah muram.
“Boreaus kenapa gak ikut?” tanya Indra dengan nada bingung. Aku juga mempertanyakan hal yang sama di benakku.
“Boreaus, kau gak pulang?” panggilku. Dia langsung menoleh.
“Ah, iya….” lalu dia mulai berjalan mengikuti kami dengan wajah tertunduk.
Sepertinya dia masih memikirkan kepergian ayah dan ibu.

No comments:

Post a Comment